Ada beberapa lima strata agro-ekosistem antara
lain:
1. Strata
Lahan Pantai (Coastal Area)
Lahan pantai lahan yang sebagain besar terdiri
dari pasir selalu bersentuhan dengan udara laut yang mengandung garam berangin
cukup besar. Lahan pantai memiliki beberapa kendala apabila akan digunakan
sebagai lahan pertanian antara lain lahannya yang berupa pasir, kesuburan
tanahnya yang rendah, intensitas cahaya matahari yang tinggi dan kecepatan
angin yang besar.
Pertanian lahan pantai mungkin masih terdengar asing
buat kita, kadang kita berpikir dapatkah tanah pasir yang tidak dapat menahan
air bisa ditanami. Di Bantul khususnya di pantai Samas yang dulunya terdapat puluhan
hektar padang pasir sekarang disulap menjadi lahan pertanian produktif.
Berbagai macam budidaya tanaman seperti cabai, kacang tanah, bawang, buah naga
dan lain-lain dapat tumbuh subur di lahan pasir ini. Keuntungan dan keunggulan pertanian di lahan pantai adalah: Hama tanaman sedikit dan cara penanggulangannya mudah, memiliki intensitas
cahaya yang bagus, memakai pestisida alami sehingga cabai bebas dari bahan kimia, sistem perairannya bagus, hasil panen memiliki
kualitas atau mutu yang tinggi sehingga harga jual juga menjadi tinggi.
Untuk
memanfaatkan lahan pantai untuk lahan pertanian tidak langsung diolah, namun
dibutuhkan suatu manipulasi lahan agar lahan pantai dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian. Manipulasi dapat dilakukan antara lain:
a.
Penggunaan Bahan organik. Dengan penambahan lempung dan bahan
organik secara bersama-sama kedalam tanah pasir diharapkan dapat memberikan
keuntungan terhadap perbaikan kualitas struktur tanah.
b. Penggunaan
Mulsa. Penggunaan mulsa ini sangat
penting di lahan pantai karena dapat menghemat lengas tanah sehingga kebutuhan
lengas untuk tanaman terutama pada musim kemarau diharapkan dapat tercukupi.
c. Penggunaan
pematah angin. Fungsi
utama wind breaker adalah untuk mereduksi kecepatan angin. Selain itu
juga berfungsi untuk mengurangi kerusakan mekanis karena patah atau hilangnya
organ-organ tanaman, kegagalan pembungaan dan penyerbukan, bentuk habitus dan
pertumbuhan yang mengalami kelainan serta untuk mengurangi laju
evapotranspirasi yang tinggi.
d.
Hidrologi dan Irigasi. Ketersediaan air irigasi di lahan
pantai yang terbatas mengakibatkan perlunya upaya untuk meningkatkan efisiensi
pemanfaatan air irigasi sehingga dapat mengurangi pemborosan dalam penggunaan
air irigasi. Irigasi dilahan pantai selama ini dilakukan dengan cara
penyiraman dan penggunaan sumur renteng. Sedangkan untuk mengurangi kehilangan
air siraman dan mempertahankan lengas, salah satu upaya yang dapat dilakukan
adalah dengan penggunaan lembaran plastik yang ditanam pada jeluk 30 cm.
2. Strata
Lahan Pasang Surut (Swampy Area)
Lahan
pasang surut adalah lahan yang pada musim penghujan (bulan desember-mei)
permukaan air pada sawah akan naik sehingga tidak dapat di tanami padi. Pada
musim kemarau (bulan juli-september) air permukaan akan surut yang mana pada
saat itu tanaman padi sawah baru dapat ditanam (pada lokasi yang berair). (LIPI Kalimantan, 1994), dari luas lahan di Indonesia yang keseluruhannya
berjumlah 162.4 juta ha, sekitar 39.4 juta ha berupa lahan rawa pasang surut
(24.2 %) dan sekitar 123 juta ha adalah lahan kering (75 %).
Lahan ini tersedia sangat luas dan
dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian. Hasil yang diperoleh sangat
tergantung kepada cara pengelolaannya. Untuk itu, petani perlu memahami sifat
dan kondisi tanah dan air di lahan pasang surut. Kandungan tanah lahan pasang
surut sifat tanah dan air pada lahan pasang surut ini adalah:
- Tanah sulfat masam
dengan senyawa pirit. Pirit adalah zat yang hanya ditemukan di tanah di
daerah pasang surut saja. Zat ini dibentuk pada waktu lahan digenangi oleh
air laut yang masuk pada musim kemarau. Pirit dapat berubah bentuk menjadi
zat besi dan zat asam belerang yang dapat meracuni tanaman.
- Tanah gambut
- Air pasang besar dan kecil
- Kedalaman air
tanah
e.
Kemasaman air yang
menggenangi lahan.
Lahan pasang surut
dibagi menjadi beberapa golongan menurut tipe luapan air pasang, yaitu:
A: Lahan
terluapi oleh pasang besar (pada waktu bulan purnama maupun bulan mati), maupun
oleh pasang kecil (pada waktu bulan separuh).
B: Lahan
terluapi oleh pasang besar saja.
C: Lahan tidak
terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil, namun permukaan air
tanahnya cukup dangkal, yaitu kurang dari 50 cm.
D: Lahan tidak
terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil, namun permukaan air tanahnya dalam, lebih dari 50
cm.
Pengelolaan tanah dan air ini
merupakan kunci keberhasilan usaha tani. Dengan upaya yang sungguh-sungguh,
lahan pasang surut ini dapat bermanfaat bagi petani dan masyarakat luas.
Lahan pasang surut merupakan lahan
marjinal yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai areal budidaya kelapa sawit,
padi dan kacang kedelai. Potensi tersebut didasarkan pada karakteristik lahan
maupun luasannya. Pengembangan lahan rawa pasang surut memerlukan perencanaan,
pengelolaan, dan pemanfaatan yang tepat serta penerapan teknologi yang sesuai,
terutama pengelolaan tanah dan air. Dengan upaya seperti itu diharapkan
lahan rawa pasang surut dapat menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, padi dan
kacang kedelai yang produktif, dan berkelanjutan.
Kajian
terhadap karakteristik lahan rawa pasang surut di perkebunan kelapa sawit telah
dilakukan melalui pengamatan profil tanah Typic
Sulfaquent dan Sulfic Endoaquept
di Sumatera Selatan. Perbedaan utama kedua jenis tanah tersebut adalah
kedalaman lapisan pirit. Typic Sulfaquent
memiliki lapisan pirit pada kedalaman sekitar 50 cm dari permukaan tanah,
sedangkan tanah Sulfic Endoaquepts
memiliki kedalaman pirit sekitar 100 cm. Pertumbuhan dan produksi tanaman
kelapa sawit umumnya semakin baik dengan semakin dalamnya posisi lapisan pirit
dari permukaan tanah. Secara umum, pertumbuhan tanaman dan produksi kelapa
sawit pada lahan rawa pasang surut yang memiliki kandungan pirit juga sangat
ditentukan oleh kualitas kultur teknis khususnya pengaturan tata air. Kondisi
tata air yang efektif mampu mengendalikan drainase sesuai kebutuhan tanaman,
sekaligus mampu mencegah over drainage
yang dapat mengakibatkan oksidasi pirit secara berlebihan.
Sistem pengairan pada lahan pasang surut
dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Sistem
irigasi dari bawah ke atas (lowe to upper
flow irrigation system). Sistem ini dilakukan dengan konstruksi bendung, kanal
dari soil (cement), sistem irirgasi bawah ke atas dapat mengurangi pengaruh
sedimen pada kanal dan sawah, karena sistem ini dapat menghilangkan stagnasi
tinggi pasang surut yang akhirnya menghilangkan sedimentasi (Morgan, 1986).
b. Sistem aliran satu arah. Pelaksanaan sistem ini tergantung kepada kesepakatan
pengaturan pintu-pintu air. Jika salah satu saluran tersier berfungsi sebagai
saluran pemasukan (irigasi), maka saluran tersier disebelahnya dijadikan
saluran pengeluaran (drainase). Saluran
pemasukan diberi pintu air yang membuka ke dalam, sehingga pada waktu pasang
air dapat masuk dan air tidak dapat ke luar jika air surut. Saluran pengeluaran
diberi pintu air yang membuka ke luar, sehingga pada waktu air suru,t air dapat
keluar dan air tidak dapat masuk jika air sedang pasang. Saluran kuarter yang
merupakan batas pemilikan perlu ditata mengikuti aliran satu arah.
3. Strata
Lahan Basah (Lowland Area)
Lahan basah adalah ekosistem peralihan (ekoton) antara ekosistem perairan (aquatic) dan
ekosistem daratan (terrestrial), adanya dominasi rejim air dan adanya tanaman
(hidrofita) yang mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap kondisi lahan yang
senantiasa jenuh (tergenang) air.
Jenis-jenis lahan basah dapat berupa rawa, gambut, hutan mangrove,
terumbu karang, padang lamun, danau, muara, sungai, sawah, tambak dan kolam
garam. Air yang menggenangi lahan basah
dapat tergolong ke dalam air tawar, payau
atau asin.
Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki
tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi
dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem. Di atas lahan basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi
(masyarakat tetumbuhan), seperti hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan bakau,
paya rumput dan lain-lain.
Margasatwa penghuni lahan basah juga tidak kalah beragamnya, mulai dari yang
khas lahan basah seperti buaya, kura-kura, biawak, ular, aneka jenis kodok, dan berbagai
macam ikan hingga ke ratusan
jenis burung
dan mamalia,
termasuk pula harimau
dan gajah.
Pada sisi yang lain, banyak kawasan lahan basah
yang merupakan lahan yang subur, sehingga kerap dibuka, dikeringkan dan dikonversi menjadi lahan-lahan
pertanian.
Baik sebagai lahan persawahan,
lokasi pertambakan.
Ada dua cara membudidaya pertanian lahan basah, antara lain:
a.
Pembukaan lahan dan pengelolaan
air. Pembukaan
lahan hutan merupakan awal dari pengelolaan lahan dan sekaligus merupakan upaya
pertama mengelolaan air. Langkah yang pertama yang dilakukan dalam pembukaan
lahan meliputi pembukaan suatu jalur hutan dimana sebuah paril sempit akan
digali sehingga lahan didrainase secara buatan. Handil atau anjir dibuat untuk
memperluas pengeruh pasang surut air, yang akhirnya dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian.
b.
Pengolahan tanah. Pengolahan tanah di persawahan lahan basah yag dilakukan adalah
pembersihan lahan dengan cara pengendalian gulma (terutama purun tikus) yang
dominan di dahan rawa. Gulma tersebut dapat memperkaya tanah dengan pupuk
organik yang
berasal dari
vegetasi gulma yang membusuk.
4.
Strata
Lahan Kering (Upland Area)
Definisi
yang diberikan oleh Soil Survey Staffs
(1998) dalam Haryati (2002), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak
pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam
setahun. Tipologi lahan ini dapat dijumpai dari dataran rendah (0-700 m dpl)
hingga dataran tinggi (> 700m dpl). Menurut Biro Pusat Statistik (2000) sekitar 585% dari luas daratan
Indonesia (1.114 juta hektar) merupakan lahan kering sehingga lahan kering
mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan.
Karakteristik
umum mengenai sumberdaya lahan dan iklim dari kawasan ini yang berhubungan
dengan sistem usaha tani setempat antara lain: jumlah curah hujan yang sangat
rendah (700 ± 1.500 mm/tahun); jumlah bulan kering sangat panjang (8 ± 9 bulan/
Maret ± November); sifat curah hujan yang eratik dalam bulan basah (hujan yang
tidak merata, namun pada waktu tertentu mengalami jumlah curah hujan yang
sangat tinggi dan dapat menimbulkan banjir/genangan yang tidak menguntungkan
bagi usahatani); suhu harian yang rata-rata antara 30 sampai 32°C; topografi
yang berbukit sampai bergunung; memiliki tanah-tanah muda (ultisol dan
inseptisol) yang bersolum tipis dan sering disebut tanah berpersoalan (Sudjadi,
1984). Ciri-ciri usahatani lahan kering adalah sebagai berikut:
- Produktifitas yang sangat
rendah
- Tanaman yang ditanam adalah
jagung, padi ladang,ubi-ubian dan kacang-kacangan (umumnya jagung
merupakan tanaman utama)
- Budidaya yang tradisional (manual)
- Penguasaan lahan yang terbatas
karena kendala tenaga kerja
- Cenderung menerapkan ladang
berpindah yang berotasi sebagai upaya penyembuhan lahan secara tradisIonal
(Basuki, 2005 dan Notohadiprawiro, 1989).
Secara umum, tahapan pengembangan pertanian lahan
kering dengan pendekatan agribisnis adalah sebagai berikut:
1.
Lakukan
evaluasi potensi wilayah, antara lain: kondisi fisik dan kesuburun lahan,
kondisi agroekosistem, dll.
2.
Identifikasi
jenis tanaman dan ternak yang telah ada dan baru yang cocok dikembangkan di
wilayah tersebut dan bagaimana sistem irigasinya, apakah irigasi sumur bor
dengan sistem perpipaan atau irigasi tetes (drip irrigation) atau hanya
mengandalkan tadah hujan;
3.
Adakah
tersedia sarana produksi dan teknologi, seperti benih, pupuk, pakan, pestisida,
alat dan mesin (alsintan), obat-obatan yang dibutuhkan jika mengusahakan
tanaman dan ternak. Jika tersedia apakah terjangkau oleh petani setempat?.
4.
Bagaimana
dengan pasca panennya. Apakah teknologinya dikuasai atau belum. Jika belum perlu
dicari tahu teknologi pasca panennya.
5.
Apakah
mungkin kelak produksinya diolah menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi.
Jika mungkin bagaimana dengan penguasaan teknologinya. Jika belum dikuasai
perlu dicari tahu tentang teknologi pengolahannya.
6.
Kemana
kelak produksinya dipasarkan, apakah pasar lokal, antar pulau, atau ekspor.
7.
Masih
adakah peluang pasar dan jika ada siapa target pasarnya (masyarakat umum,
wisatawan) atau kelas bawah, menengah atau kelas atas.
8.
Adakah
strategi pemasaran untuk memenangkan persaingan terhadap competitor
produk sejenis.
9.
Tersediakah
prasarana penunjang, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, terminal, alat
transportasi yang melancarkan pengaliran produk dari petani ke pasar atau
konsumen.
10.
Adakah
kelembagaan penunjang, seperti lembaga perkreditan, lembaga penyuluhan,
kelompok tani, lembaga penelitian, peraturan/kebijakan pemerintah yang
kondusif, koperasi, dll.
11.
The
last but not least,
bersediakah petani diajak melakukan inovasi-inovasi untuk meningkatkan
produktivitas sumberdaya lahan kering yang dimilikinya. Jika tidak atau belum
tersedia, lakukan proses penyadaran secara terus-menerus pentingnya melakukan
inovasi demi meningkatkan produktivitas dan akhirnya untuk meningkatkan
kesejahteraannya.
Dalam tahap perencanaan pengembangan,
pertanyaan-pertanyaan di atas harus dicari jawabannya dan jika sudah terjawab,
maka lakukanlah implementasi dari rencana tersebut dengan langkah-langkah
seperti tersebut di atas.
5.
Strata
Lahan Daratan Tinggi
Wilayah Indonesia pada daerah dataran
tinggi memiliki sistem pegunungan yang memanjang dan masih aktif. Relief
dataran dengan banyaknya pegunungan dan perbukitan, menyebabkan Indonesia
memiliki kesuburan tanah vulkanik, udara yang sejuk, dan alam yang indah. Pada
wilayah dataran tinggi ini, suhu udara jauh lebih dingin dibandingkan dengan
dataran rendah maupun daerah pantai. Tingkat kelembapan udara dan curah hujan
yang berlangsung juga cukup tinggi. Dengan kondisi seperti ini lahan ini sangat
cocok dimanfaatkan untuk kegiatan bercocok
tanam melalui tanaman sayur mayur berupa tanaman kentang.
Lahan pertanian yang ada di dataran
tinggi biasanya memiliki topografi yang miring dengan relief berombak. Biasanya pada daerah lahan berbukit memiliki solum tanah
dalam namun telah mengalami proses yang lebih lanjut seperti erosi. Jika sistem
pengelolaan lahan tidak disesuaikan dengan karakteristik lahan akan dapat
menyebakan degradasi lahan yang berdampak pada penurunan produktivitas lahan.
Jika sistem pengelolaan lahan kurang sesuai kemungkinan terjadinya degradasi
lahan yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas lahan sangat tinggi.
Selain itu, akibat dari drainase yang cepat menyebabkan air mudah hilang
sehingga ketersediaan air untuk tanaman pun berkurang. Oleh sebab itu, sangat
diperlukan teknik pengelolaan lahan pada dataran tinggi lahan yang baik sesuai
dengan kondisi lingkungannya.
Ada
beberapa cara penanggulangan kendala yang muncul pada pengelolaan lahan pertanian
di dataran tinggi:
1.
Sistem pengelolaan lahan berkelanjutan
2. Evaluasi kesesuaian lahan
4. Sistem
tanam
5. Pemupukan
organik