Sabtu, 27 Oktober 2012

strata lahan agribisnis


Ada beberapa lima strata agro-ekosistem antara lain:

1.    Strata Lahan Pantai (Coastal Area)
Lahan pantai lahan yang sebagain besar terdiri dari pasir selalu bersentuhan dengan udara laut yang mengandung garam berangin cukup besar. Lahan pantai memiliki beberapa kendala apabila akan digunakan sebagai lahan pertanian antara lain lahannya yang berupa pasir, kesuburan tanahnya yang rendah, intensitas cahaya matahari yang tinggi dan kecepatan angin yang besar.
Pertanian lahan pantai mungkin masih terdengar asing buat kita, kadang kita berpikir dapatkah tanah pasir yang tidak dapat menahan air bisa ditanami. Di Bantul khususnya di pantai Samas yang dulunya terdapat puluhan hektar padang pasir sekarang disulap menjadi lahan pertanian produktif. Berbagai macam budidaya tanaman seperti cabai, kacang tanah, bawang, buah naga dan lain-lain dapat tumbuh subur di lahan pasir ini. Keuntungan dan keunggulan pertanian di lahan pantai adalah: Hama tanaman sedikit dan cara penanggulangannya mudah, memiliki intensitas cahaya yang bagus, memakai pestisida alami sehingga cabai bebas dari bahan kimia, sistem perairannya bagus, hasil panen memiliki kualitas atau mutu yang tinggi sehingga harga jual juga menjadi tinggi.
Untuk memanfaatkan lahan pantai untuk lahan pertanian tidak langsung diolah, namun dibutuhkan suatu manipulasi lahan agar lahan pantai dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Manipulasi dapat dilakukan antara lain:
a.       Penggunaan Bahan organik. Dengan penambahan lempung dan bahan organik secara bersama-sama kedalam tanah pasir diharapkan dapat memberikan keuntungan terhadap perbaikan kualitas struktur tanah.
b.      Penggunaan Mulsa. Penggunaan mulsa ini sangat penting di lahan pantai karena dapat menghemat lengas tanah sehingga kebutuhan lengas untuk tanaman terutama pada musim kemarau diharapkan dapat tercukupi.
c.       Penggunaan pematah angin. Fungsi utama wind breaker adalah untuk mereduksi kecepatan angin. Selain itu juga berfungsi untuk mengurangi kerusakan mekanis karena patah atau hilangnya organ-organ tanaman, kegagalan pembungaan dan penyerbukan, bentuk habitus dan pertumbuhan yang mengalami kelainan serta untuk mengurangi laju evapotranspirasi yang tinggi.
d.      Hidrologi dan Irigasi. Ketersediaan air irigasi di lahan pantai yang terbatas mengakibatkan perlunya upaya untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan air irigasi sehingga dapat mengurangi pemborosan dalam penggunaan air irigasi. Irigasi dilahan pantai selama ini dilakukan dengan cara penyiraman dan penggunaan sumur renteng. Sedangkan untuk mengurangi kehilangan air siraman dan mempertahankan lengas, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan penggunaan lembaran plastik yang ditanam pada jeluk 30 cm.


2.    Strata Lahan Pasang Surut (Swampy Area)
Lahan pasang surut adalah lahan yang pada musim penghujan (bulan desember-mei) permukaan air pada sawah akan naik sehingga tidak dapat di tanami padi. Pada musim kemarau (bulan juli-september) air permukaan akan surut yang mana pada saat itu tanaman padi sawah baru dapat ditanam (pada lokasi yang berair). (LIPI Kalimantan, 1994), dari luas lahan di Indonesia yang keseluruhannya berjumlah 162.4 juta ha, sekitar 39.4 juta ha berupa lahan rawa pasang surut (24.2 %) dan sekitar 123 juta ha adalah lahan kering (75 %).
Lahan ini tersedia sangat luas dan dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian. Hasil yang diperoleh sangat tergantung kepada cara pengelolaannya. Untuk itu, petani perlu memahami sifat dan kondisi tanah dan air di lahan pasang surut. Kandungan tanah lahan pasang surut sifat tanah dan air pada lahan pasang surut ini adalah:
  1. Tanah sulfat masam dengan senyawa pirit. Pirit adalah zat yang hanya ditemukan di tanah di daerah pasang surut saja. Zat ini dibentuk pada waktu lahan digenangi oleh air laut yang masuk pada musim kemarau. Pirit dapat berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam belerang yang dapat meracuni tanaman.
  2. Tanah gambut
  3. Air  pasang besar dan kecil
  4. Kedalaman air tanah
e.       Kemasaman air yang menggenangi lahan.

Lahan pasang surut dibagi menjadi beberapa golongan menurut tipe luapan air pasang, yaitu:
 A: Lahan terluapi oleh pasang besar (pada waktu bulan purnama maupun bulan mati), maupun oleh pasang kecil (pada waktu bulan separuh).
 B: Lahan terluapi oleh pasang besar saja.
 C: Lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil, namun permukaan air tanahnya cukup dangkal, yaitu kurang dari 50 cm.
 D: Lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil, namun    permukaan air tanahnya dalam, lebih dari 50 cm.

Pengelolaan tanah dan air ini merupakan kunci keberhasilan usaha tani. Dengan upaya yang sungguh-sungguh, lahan pasang surut ini dapat bermanfaat bagi petani dan masyarakat luas.
Lahan pasang surut merupakan lahan marjinal yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai areal budidaya kelapa sawit, padi dan kacang kedelai. Potensi tersebut didasarkan pada karakteristik lahan maupun luasannya. Pengembangan lahan rawa pasang surut memerlukan perencanaan, pengelolaan, dan pemanfaatan yang tepat serta penerapan teknologi yang sesuai, terutama pengelolaan tanah dan air.  Dengan upaya seperti itu diharapkan lahan rawa pasang surut dapat menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, padi dan kacang kedelai yang produktif, dan berkelanjutan.
Kajian terhadap karakteristik lahan rawa pasang surut di perkebunan kelapa sawit telah dilakukan melalui pengamatan profil tanah Typic Sulfaquent dan Sulfic Endoaquept di Sumatera Selatan. Perbedaan utama kedua jenis tanah tersebut  adalah kedalaman lapisan pirit. Typic Sulfaquent memiliki lapisan pirit pada kedalaman sekitar 50 cm dari permukaan tanah, sedangkan tanah Sulfic Endoaquepts memiliki kedalaman pirit sekitar 100 cm. Pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit umumnya semakin baik dengan semakin dalamnya posisi lapisan pirit dari permukaan tanah. Secara umum, pertumbuhan tanaman dan produksi kelapa sawit pada lahan rawa pasang surut yang memiliki kandungan pirit juga sangat ditentukan oleh kualitas kultur teknis khususnya pengaturan tata air.  Kondisi tata air yang efektif mampu mengendalikan drainase sesuai kebutuhan tanaman, sekaligus mampu mencegah over drainage yang dapat mengakibatkan oksidasi pirit secara berlebihan.
            Sistem pengairan pada lahan pasang surut dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a.    Sistem irigasi dari bawah ke atas (lowe to upper flow irrigation system). Sistem ini dilakukan dengan konstruksi bendung, kanal dari soil (cement), sistem irirgasi bawah ke atas dapat mengurangi pengaruh sedimen pada kanal dan sawah, karena sistem ini dapat menghilangkan stagnasi tinggi pasang surut yang akhirnya menghilangkan sedimentasi (Morgan, 1986).
b.    Sistem aliran satu arah. Pelaksanaan sistem ini tergantung kepada kesepakatan pengaturan pintu-pintu air. Jika salah satu saluran tersier berfungsi sebagai saluran pemasukan (irigasi), maka saluran tersier disebelahnya dijadikan saluran pengeluaran (drainase). Saluran pemasukan diberi pintu air yang membuka ke dalam, sehingga pada waktu pasang air dapat masuk dan air tidak dapat ke luar jika air surut. Saluran pengeluaran diberi pintu air yang membuka ke luar, sehingga pada waktu air suru,t air dapat keluar dan air tidak dapat masuk jika air sedang pasang. Saluran kuarter yang merupakan batas pemilikan perlu ditata mengikuti aliran satu arah.

3.    Strata Lahan Basah (Lowland Area)
Lahan basah adalah ekosistem peralihan (ekoton) antara ekosistem perairan (aquatic) dan ekosistem daratan (terrestrial), adanya dominasi rejim air dan adanya tanaman (hidrofita) yang mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap kondisi lahan yang senantiasa jenuh (tergenang) air. Jenis-jenis lahan basah dapat berupa rawa, gambut, hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, danau, muara, sungai, sawah, tambak dan kolam garam.  Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong ke dalam air tawar, payau atau asin.
Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem. Di atas lahan basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi (masyarakat tetumbuhan), seperti hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan bakau, paya rumput dan lain-lain. Margasatwa penghuni lahan basah juga tidak kalah beragamnya, mulai dari yang khas lahan basah seperti buaya, kura-kura, biawak, ular, aneka jenis kodok, dan berbagai macam ikan hingga ke ratusan jenis burung dan mamalia, termasuk pula harimau dan gajah.
Pada sisi yang lain, banyak kawasan lahan basah yang merupakan lahan yang subur, sehingga kerap dibuka, dikeringkan dan dikonversi menjadi lahan-lahan pertanian. Baik sebagai lahan persawahan, lokasi pertambakan.
Ada dua cara membudidaya pertanian lahan basah, antara lain:
a.    Pembukaan lahan dan pengelolaan air. Pembukaan lahan hutan merupakan awal dari pengelolaan lahan dan sekaligus merupakan upaya pertama mengelolaan air. Langkah yang pertama yang dilakukan dalam pembukaan lahan meliputi pembukaan suatu jalur hutan dimana sebuah paril sempit akan digali sehingga lahan didrainase secara buatan. Handil atau anjir dibuat untuk memperluas pengeruh pasang surut air, yang akhirnya dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian.
b.    Pengolahan tanah. Pengolahan tanah di persawahan lahan basah yag dilakukan adalah pembersihan lahan dengan cara pengendalian gulma (terutama purun tikus) yang dominan di dahan rawa. Gulma tersebut dapat memperkaya tanah dengan pupuk organik yang berasal dari vegetasi gulma yang membusuk.

4.    Strata Lahan Kering (Upland Area)
Definisi yang diberikan oleh Soil Survey Staffs (1998) dalam Haryati (2002), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Tipologi lahan ini dapat dijumpai dari dataran rendah (0-700 m dpl) hingga dataran tinggi (> 700m dpl). Menurut Biro Pusat Statistik (2000) sekitar 585% dari luas daratan Indonesia (1.114 juta hektar) merupakan lahan kering sehingga lahan kering mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan.
Karakteristik umum mengenai sumberdaya lahan dan iklim dari kawasan ini yang berhubungan dengan sistem usaha tani setempat antara lain: jumlah curah hujan yang sangat rendah (700 ± 1.500 mm/tahun); jumlah bulan kering sangat panjang (8 ± 9 bulan/ Maret ± November); sifat curah hujan yang eratik dalam bulan basah (hujan yang tidak merata, namun pada waktu tertentu mengalami jumlah curah hujan yang sangat tinggi dan dapat menimbulkan banjir/genangan yang tidak menguntungkan bagi usahatani); suhu harian yang rata-rata antara 30 sampai 32°C; topografi yang berbukit sampai bergunung; memiliki tanah-tanah muda (ultisol dan inseptisol) yang bersolum tipis dan sering disebut tanah berpersoalan (Sudjadi, 1984). Ciri-ciri usahatani lahan kering adalah sebagai berikut:
  1. Produktifitas yang sangat rendah
  2. Tanaman yang ditanam adalah jagung, padi ladang,ubi-ubian dan kacang-kacangan (umumnya jagung merupakan tanaman utama)
  3. Budidaya yang tradisional (manual)
  4. Penguasaan lahan yang terbatas karena kendala tenaga kerja
  5. Cenderung menerapkan ladang berpindah yang berotasi sebagai upaya penyembuhan lahan secara tradisIonal (Basuki, 2005 dan Notohadiprawiro, 1989).

Secara umum, tahapan pengembangan pertanian lahan kering dengan pendekatan agribisnis adalah sebagai berikut:
1.    Lakukan evaluasi potensi wilayah, antara lain: kondisi fisik dan kesuburun lahan, kondisi agroekosistem, dll.
2.    Identifikasi jenis tanaman dan ternak yang telah ada dan baru yang cocok dikembangkan di wilayah tersebut dan bagaimana sistem irigasinya, apakah irigasi sumur bor dengan sistem perpipaan atau irigasi tetes (drip irrigation) atau hanya mengandalkan tadah hujan;
3.    Adakah tersedia sarana produksi dan teknologi, seperti benih, pupuk, pakan, pestisida, alat dan mesin (alsintan), obat-obatan yang dibutuhkan jika mengusahakan tanaman dan ternak. Jika tersedia apakah terjangkau oleh petani setempat?.
4.    Bagaimana dengan pasca panennya. Apakah teknologinya dikuasai atau belum. Jika belum perlu dicari tahu teknologi pasca panennya.
5.    Apakah mungkin kelak produksinya diolah menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi. Jika mungkin bagaimana dengan penguasaan teknologinya. Jika belum dikuasai perlu dicari tahu tentang teknologi pengolahannya.
6.    Kemana kelak produksinya dipasarkan, apakah pasar lokal, antar pulau, atau ekspor.
7.    Masih adakah peluang pasar dan jika ada siapa target pasarnya (masyarakat umum, wisatawan) atau kelas bawah, menengah atau kelas atas.
8.    Adakah strategi pemasaran untuk memenangkan persaingan terhadap competitor produk sejenis.
9.    Tersediakah prasarana penunjang, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, terminal, alat transportasi yang melancarkan pengaliran produk dari petani ke pasar atau konsumen.
10.    Adakah kelembagaan penunjang, seperti lembaga perkreditan, lembaga penyuluhan, kelompok tani, lembaga penelitian, peraturan/kebijakan pemerintah yang kondusif, koperasi, dll.
11.    The last but not least, bersediakah petani diajak melakukan inovasi-inovasi untuk meningkatkan produktivitas sumberdaya lahan kering yang dimilikinya. Jika tidak atau belum tersedia, lakukan proses penyadaran secara terus-menerus pentingnya melakukan inovasi demi meningkatkan produktivitas dan akhirnya untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Dalam tahap perencanaan pengembangan, pertanyaan-pertanyaan di atas harus dicari jawabannya dan jika sudah terjawab, maka lakukanlah implementasi dari rencana tersebut dengan langkah-langkah seperti tersebut di atas.

5.    Strata Lahan Daratan Tinggi
Wilayah Indonesia pada daerah dataran tinggi memiliki sistem pegunungan yang memanjang dan masih aktif. Relief dataran dengan banyaknya pegunungan dan perbukitan, menyebabkan Indonesia memiliki kesuburan tanah vulkanik, udara yang sejuk, dan alam yang indah. Pada wilayah dataran tinggi ini, suhu udara jauh lebih dingin dibandingkan dengan dataran rendah maupun daerah pantai. Tingkat kelembapan udara dan curah hujan yang berlangsung juga cukup tinggi. Dengan kondisi seperti ini lahan ini sangat cocok dimanfaatkan untuk kegiatan bercocok tanam melalui tanaman sayur mayur berupa tanaman kentang.
Lahan pertanian yang ada di dataran tinggi biasanya memiliki topografi yang miring dengan relief berombak. Biasanya pada daerah lahan berbukit memiliki solum tanah dalam namun telah mengalami proses yang lebih lanjut seperti erosi. Jika sistem pengelolaan lahan tidak disesuaikan dengan karakteristik lahan akan dapat menyebakan degradasi lahan yang berdampak pada penurunan produktivitas lahan. Jika sistem pengelolaan lahan kurang sesuai kemungkinan terjadinya degradasi lahan yang dapat menyebabkan penurunan produktivitas lahan sangat tinggi. Selain itu, akibat dari drainase yang cepat menyebabkan air mudah hilang sehingga ketersediaan air untuk tanaman pun berkurang. Oleh sebab itu, sangat diperlukan teknik pengelolaan lahan pada dataran tinggi lahan yang baik sesuai dengan kondisi lingkungannya.
            Ada beberapa cara penanggulangan kendala yang muncul pada pengelolaan lahan pertanian di dataran tinggi:

1.    Sistem pengelolaan lahan berkelanjutan

2.    Evaluasi kesesuaian lahan
4.    Sistem tanam
5.    Pemupukan organik